Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Wali Songo Sunan Bonang

 

Sunan Bonang

Blog kisah.web.id kali ini akan berbagi sebuah cerita tentang Sunan Bonang yang diambil dari kumpulan-kumpulan cerita tentang wali-wali yang ada di Indonesia. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.


Kisah Wali Songo Sunan Bonang

Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri dari Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit.  Karena ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja Majapahit.


Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilrnu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberikan pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.


Sudah bukan rahasia lagi, bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.


Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan atau menimba ilmu pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu ke Negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan Parsi atau Iran.


Sesudah belajar di Negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban.dan daerah Sempadan Surabaya.


Sunan Bonang Bijak Dalam Berdakwah


Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering  mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.


Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi. sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.


Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh dengan kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada rnereka.


Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sedang mempergunakan dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.



Karya Sastra Dari Sunan Bonang


Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat penuh keindahan dan makna dari kehidupan beragama.


Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Suluk berasal dari bahasa Arab "Salakattariiqa"  artinya menempuh jalan (tasawwuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut dengan Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.


Kuburnya Ada Dua


Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.


Berita segera tersebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.


Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan jenazah beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembuingkus jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.


Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan llmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu.


Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya .Tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat masjid Jami' Tuban.


Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.


Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah mungkin karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepadanya.  Dengan demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya. Sunan Bonang wafat pada tahun1525. Makam yang dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang rnakam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.

Posting Komentar untuk "Kisah Wali Songo Sunan Bonang"